KISAH DI BUMI BERSEJARAH

                   KISAH CINTA DI KOTA BERSEJARAH


Ini sudah Ramadhan yang ketiga kalinya aku masih di tempat yang sama di bawah langit semesta kota bersejarah.
            Malam masih sepekat yang dulu walau kabut-kabut tak lagi kembungkam dan mengungkung hampir seluruh pulau Andalas ini dengan sesak. Semoga tak akan terjadi lagi.
            Setelah tamat sekoalah menengah ahir aku merantau  keseberang Indragiri bagian hulu tepatnya di tanah yang saat ini aku pijak. Rengat kota bersejarah, yang juga menjadi sejarah pertama dalam misi perantauanku meneguk masa-masa menjelang ahir hayat. Mencari pundi-pundi penghidupan dan mencari yang namanya kesuksesan. Mencurahkan segenap tenaga dan pikiran pada uluran tangan kasih saudara sepupuku.
            Cerita ini di mulai pada Ramadhan yang pertama,  tatkala pada malam-malam yang ku lalui bersama sepi di tengah hiruk pikuk, hingar bingar kota yang mulai menuju metropolitan ini yang cukup membuat hatiku semakin teriris karena pikiranku sendiri, bukan tidak mungkin tanah kelahiranku Indragiri Hilir bagian paling selatan berevolusi menjadi Indragiri Selatan dan tentunya aku tak mungkin begini-begini saja. Kalau perlu aku bisa sukses dan turut membangun negeriku kelak. Tetapi bagaimana? Tahun pertama di negeri orang ini aku belum punya uang untuk masuk kuliah.
            Siang itu dia datang meberi sedikit warna pada kisahku ini, melalui pasilitas yang tersedia di tempat kerjaku, gadis dara Jawa berbibir merah alami itu menyapaku, dan aku sangat terkejut, Sungguh ini diluar dugaan ku.
            Obrolan kami  melebar hari itu di media sosial facebook sampai menjelang senja juma’at berakhir. Malam seolah datang lebih awal, entahlah pergantian hari ini seolah-olah tergesa gesa namun sejatinya waktu tetap pada kodratnya barangkali hanya perasaanku saja kala itu.
            Malam terasa lebih meriah seusai menunaikan ritual suci yang hanya dilakukan di malam bulan Ramdhan itu aku segera menyambar telepon jadulku yang lalu ku bawa serta ke tepian danau yang menjadi kebanggaan kota ini. Disitu ku habiskan sebagian waktu malamku berbagi cerita dengan gadis Jawa berbibir merah delima bernama Safira ini.
            Safira adalah adik kelasku sewaktu SMA dahulu dia adalah perempuan yang senantiasa membuat mataku harus tertuju kepadanya walau barangkali ia tak pernah menyadarinya sama sekali, tepi entahlah. Karena parasnya yang indah dan wajah tirus dan setitik hitam didahinya cukup bagi ku untuk membikin hatiku takluk. Berselang satu tahun akupun enyah dari masa putih abu-abu itu dan meninggalkan rasa kagumku terhadapnya yang belum sempat ku utarakan. Tetepi malam di tepi danau yang membiaskan sinar rembulan dia mengajakku menghabiskan separuh malam. Di ceritakannya kepadaku risalah gundah  hatinya beberapa waktu lalu, dia baru saja putus hubungan dengan Joko, pemuda yang bisa menaklukkan hatinya tetapi entah mengapa tatkala aku bertanya karena apa mereka putus,Safira menjawab “ entahlah bang, dia jahat” itu saja, sama sekali itu bukanlah jawaban tetepi aku tak memerlukan jawabanya, itu hanya sekedar basa-basi.
            Panjang juga waktu tergerus oleh obrolan kami, sementara dengung suara dzikir dan tadarus yang bersumber dari Masjid tersekat mulai senyap. Dan hilang, ternyata malam bener-benar sudah gulita.
                                                      ***
            Di balik sutrah hijau yang terbentang, aku melihat mu. Seorang gadis bermukena putih yang pandangannya tertuju pada sajadah merah Masjid tertua di kota ini. Dan ini menjadi pertemuan kedua kita setelah peristiwa bakda Mahgrib itu.
            Senja di ujung batas negeri bersejarah ini, ku pacu sekencang mungkin motorku melewati jalan-jalan aspal berlubang yang mana kala itu baru hendak diperbaiki. Sekencang apapun aku menarik gas motor, namun tak cukup kencang juga larinya kuda besi yang ku tunggangi untuk mengejar rombonganku yang hendak pergi kesebuah acara pernikahan saudara angkatku di kota ini.
            Debu-debu yang terbang mengambang menyekat pandang tatkala dengung suara mikropon Surau dan Masjid telah melantun dan senja sebentar lagi berganti malam, aku masih jauh tertinggal.
            Kami sampai bersamaan pula dengan ahir suara adzan maghrib itu, sementara kursi-kursi penyambut tamu hanya beberapa orang saja yang mendudukinya. Kedatangan kami di sambut embunya hajad, adik dari yang tengah bersanding.
            “ eh, bi, datang juge” ucap Adri sembari menepuk pundakku dari belakang
            “iye, tak mungkinlah saye tak datang” jawabku dengan sedikit senyum menanggapi
            Setelah beberapa kegiatan dan menyulam beberapa obrolan dan sindir menyindir tentang para pejaka dewasa rombongan tadi berdebat “selepas ni siape yang nikah pulak?” setelah perdebatan tak bermutu itu usai kami di segera menuju meja tamu dan megambil makanan yang sengaja telah dihidangkan.
            Dan aku masih mengingat jelas masa itu, yang mana kala itu aku terpaling belakang dalam antrian ke meja tamu dan alhasil akupun di tinggalkan sekawananku, entah kemana. Semuala aku tecari-cari mereka dimana diantara para tetamu yang telah menyantap makanannya. Aku yang merasa tidak enak, dan merasa aneh sendiri memilih duduk di sebuah meja kosong. Belun seperuh aku melahap makanan yang ku bawa, lalu aku untuk pertamakalinya menemukanmu. Perempun yang berbaris diantrian masuk ruang tamu  mengenakan jilbab kuning ke emas-emasan yang tampak serasi dengan dirimu yang memang telah terlahir indah.
            “Dea,ya tidak salah lagi. Itu Dea” bisik hati kecilku
 Setelah itu aku asik lagi berjuang menghabiskan makanan yang masih cukup banyak dipiringku. Tiba-tiba aku terhenyak, kamu dan seorang lelaki separuh baya duduk dikursi satu mejaku,pikirku orang tua itu pasti ayahmu. Saat itu, asal kamu tahu aku merasa sebuah keajaiban dalam sebuah kebetulan yang telah tertakdirkan ini sungguh luar biasa, sekenario yang indah, aku bahagia diantara permainan hidup ini.
Detak jantungku beroperasi lebih bersemangat ketika aku yang kala itu pura-pura tak tahu dan tak berani menatap matamu, walau sempat sekali aku mencuri pandang untuk melihatmu lebih dekat, dan …aku tak mampu  memendangi keindahanmu lebih lama karena itu bukan hakku.
            Entah darimana aku mendapatkan inisiatif, cepat-cepat ku lahap sisa makanan di piringku seperti orang tak makan seharian. Dan aku beranjak dari meja makan tempat kita yang serasa dijodohkan oleh alam sehari itu. Lalu menunaikan magrib yang terlalaikan.
            Dea, adalah gadis muslimah yang seringku lihat terpempang didinding mediasosial dengan anggunnya mengenakan busana syar’i yang  mendamaikan hati. Hawa yang satu ini selain ke elokan wajahnya, ia juga seorang gadis yang terdas dari keluarga terpandang. Aku yang melihatmu Dea bagai sebuah berlian bertabur kesempurnaan.
            Setelah masa kebetulan itu berlalu, aku yang terus terpikir bahwa sejatinya didunia ini tidak ada yang namanya kebetulan melainkan semua itu telah di rencanakan oleh Allah SWT dan tertulis di Lauhil Mahfudz.   
            Dalam malam-malam yang terletak di persetiganya, aku larut dalam sembah sujud di tengah keheningan malam yang mengekang, derik suara jangkrik dan hewan malam serta deru bunyi kendaraan sekali-kali menambah malam itu menjadi sedikit lebih khidmad. Dalam ritual itu ku mohonkan kemudahan dan kemurahan Gusti Allah untuk mengijabah segala harap dan pintaku dalam lantunan curhatku malam itu.
            “ wahai Dzat yang Maha Cinta, pada sepertiga malam ini kupintakan cinta pada takhta tertinggi untuknya, aku berharap skenario singkat yang mempertemukan kami itu adalah tanda bahwa inilah jalan-Mu menyatukan kami……..”
            Dan, ku ulangi hingga malam-malam selanjutnya.
                                                    ***
            Seperti malam yang berada di Ramadhan yang pertama. Kegundahan pun datang menyergap menjelang Ramadhan yang kedua. Sunyi malam seakan-akan mengoyak dinding jiwa,derik jangkrik seolah menghina.
            Cuma sehari dia serahkan hati dan kemudian dia ambil lagi di malam hari. Padahal aku mulai nyaman bermalam dengan hati yang baru dia beri. Pada obrolan kami dimalam itu sampailah pada suatu titik kunyatakan rasa yang pernah tumbuh dan ingin ku semai kembali. Semula Safira yang kala itu tengah patah hati dapatku boyong perasaannya dengan kata-kata.
            “aku tak ingin memacarimu, aku hanya ingin kamu terikat dengan prinsipku. Tunggu menjelang empat tahun lagi, dan aku akan menghitbahmu, anggap saja ini proses ta’aruf yang panjang namun apabila kamu merasa jenuh menunggu maka pergilah kehati yang lain, aku tak memaksamu untuk terikat dalam prinsipku”
            Malam itu diakhiri dengan obrolan kita yang seru dan ku dapatkan persetujuan hatinmu.

Siang itu ku kelilingi jalanan kota bersejarah ini, singgah di beberapa toko dan kios dan merelakan sesen demi sesen materi untuk memperjuangkan hati. Pulanglah aku membawa beberapa persyaratan yang ku buat sendiri setelah itu lalu ku bungkus dan tak lupa ku selip beberapa lembar kertas surat-surat penjelasan cintaku.
            Malam itu kau ambil kembali hati yang mulai berbunga itu dengan alasan yang dahulu  juga pernah ku dapati.
            “maaf bang mama bilang………..” malas aku mencertikannya
            “ya, tak apa-apa, santai saja. Aku tak pemaksa mu terikat bukan?” timbalku sok kuat
            Ya demikianlah, secepat itulah semuanya berakhir. Dan aku masih malah menceritakannya. Dan malam di Ramadhan yang kedua ini rasa gundah itu kembali menyergap ku tatkala pinta dan kenyataan tak sesuai pengharapan. Ternyata Kamu yang ku temui diacara pernikahan di ujung kota sana kini telah dimiliki, yang pemilik tak lain dan tak bukan dia adalah Adri teman sekaligus saudara angkatku di tanah rantau ini.
Dan, ini sudah Ramadhan yang ketiga kalinya aku masih di tempat yang sama di bawah langit semesta kota bersejarah, setalah ini entah kisah apalagi yang akan terjadi.


                                                     Rengat,12/02/18



            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH RESENSI SEDERHANA NOVEL MALIK DAN ELSA (1)

RESENSI buku ARAH LANGKAH FIERSA BESARI

RESENSI BUKU TAPAK JEJAK Fiersa Besari