cerpen sastra pemuda kemuning

                                                             Image result for hujan dan perempuan berpayung
    HUJAN DAN PEREMPUAN BERPAYUNG
                                                                       

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan dari jenis mu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia jadikan diantara kamu kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. Qur'an surah Ar-rum ayat 21

Aku terdiam sejenak, menanggapi jawaban yang beliau berikan kepada ku itu. 

"bersabarlah, dan berbuat baiklah, serta senanatiasa muhasabah diri agar menjadi orang yang baik, sungguh, sejatinya yang terbaik teruntuk yang terbaik pula" sambung orang tua berjubah putih itu. tidak itu saja beliau lalu membacakan surah dalam Al-qur,an  kembali yaitu surah An-nur ayat 26 walaupun beliau tak menyebutkan identitas ayatnya karena aku sangat paham dan tahu.

aku diam sejenak, menelan apa yang beliau sampaikan itu. tetapi rasa malu itu terus membuat ku takut untuk bertanya kejadian itu.

"oh iya nak Ilham, sudah pernah istikharah?"

"su..sudah Buya, tapi belum ada jawaban " kemudian aku sedikit berdehem nenelan ludah "lagipun siapa juga yang mau saya istikharahkan, saya belum ada calon"

Beliau terdiam akupun diam, 'Ini saatnya, tanyakannlah kepada beliau' bisik batin ku. Entah mengapa rasa malu, bercampur takut medominasi perasaan ku. Padahal aku cuma mau bertanya..

                                                            ***
Seperti biasa ketika jam istirahat kantor, aku selalu menyempatkan diri makan di restoran sederhana di pinggir jalan sembari menunggu masuknya waktu dzuhur. setelah menandaskan nasi Padang yang ku pesan dan mengkrontangkan segelas teh panas. Sejurus kemudian mata menilik langit yang mengusung warna kelabu dan menutup perlahan cahaya matahari.

Gemuruh bersuara dalam rahim awan yang menggumpal dan menghitam, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan deras. Tak lama ketika aku berpikir demikian hujanpun perlahan menggugurkan amunisi butiran-butiran tipis gerimis dan aku masih enggan beranjak dari tempat duduk ku lagipun kalaupun hujan turun aku tak akan kehujanan sebab sedan metalik yang terparkir di parkiran itu masih bisa melindungi diriku dari guyuran hujan.

Hujan. butiran air yang berguguran mulai sebesar biji jagung , angin berdesau-desau membawa hawa dingin yang menyengat tulang, dan mendirikan lunglai bulu roma. Dalam peristiwa itu pula kulihat tiga orang anak melakukan sebuah ritual aneh, sebenarnya tak aneh juga, mereka hanya bermain di bawah guguran air berkah tuhan yang berjatuhan dari langit setelah melalui siklus yang berputar-putar, yang buat aneh yaitu aku melihat tiga orang anak-anak tadi menciptakan sebuah gambaran masa kecil ku dulu dengan Hedi dan Endry sahabat ku kami begitu senang berada di bawah siraman hujan dan sering berebut cucuran atap yang lebih besar menumpahan air, tak jarang jika kami menemukan tanah miring, maka perosotanlah yang kami buat, bermain bola, dan ah masih banyak lagi yang lain. walaupun aku tahu orang tua kami tak selalu memberikan izin katanya takut kami demam atau sebagainya sebab ketika kami mandi hujan sering lupa waktu.

"jangan mandi hujan lagi nak" tutur lebut wanita lembut itu

"sebentar saja ma, lagipun kata pak Buya berhujan-hujan itu sunah nabi" jawab ku polos

Ibu diam sejenak "ya sudah, tapi jangan lama-lama. Kalau mama panggil kamu pulang ya"

Tak mengindahkan peringatan itu, dan tak memeberikan jawaban biasanya aku langsung pergi memburu hujan dan biasanya Hedi dan Endry sudah menunggu di depan rumahnya masing-masing.

Dari nyanyian hujan yang gugur menimpa apa saja dan dari gesekkan angin yang bertiup terdengarlah sayup-sayup kumandang adzan di seberang jalan di dekat toko bunga. Masjid yang tak beberapa jauh dari tempat aku makan, dan memang tempat itulah yang sering aku tempati untukk ritual peyembahanku pada sang khalik.

Setelah meminjam payung dari Uni Yati pemilik restoran, aku menerobos guyuran hujan yang menghujam apa saja yang ada di bawah. Jalan lintas masih cukup ramai yang melalui dan aku berhenti di pinggiran jalan dekat toko bunga menunggu jalan yang ku seberangi lengang.

Angi bertiup agak kencang menggugurkkan beberapa bunga kamboja di toko bunga itu, dari leretan tepian jalan sejajar dengan tempat aku berdiri mataku terpana dengan seorang perempuan berpayung hitam rambutnya yang panjang tegerai di belai deru angin ku lihat butir butir air kecil seperti biji wijen bertebangan di bawa angin dan menempel di wajahnya.

Cukup lama jeda ketika jalan belum juga lengang, dan aku memanfaatkan waktu itu untuk memperhatikan perempuan berpayung hitam. hujan masih deras.

" kapan lagi kaumenikkah bro? " Hedi di sebuah obrolan. Sebulan lalu Hedi menikah dengan kekasihnya.

"wah kalau aku mah jangan di tanya, sebentar lagi lah" sambar Endry yang sudah kebelet mau kawin ketikka sering di olok-olok oleh Hedi. Aku hanya diam, dan diam adalah sifat ku menanggapi olok-olok mereka.

"saya mah masih ikhtiar, saya yakin kalau jodoh di tangan tuhan" jawab ku

"wah kalau di tangan tuhan apa berani kau mengambilnya?" jawab Hedi, entah apa yang lucu mereka berduapun terkekeh menertawakan ku. Aku tersungging

"kami percaya kok bro wanita yang akan kau dapatkan itu pasti wanita baik-baik sebab engkaukan orang baik, jodoh itu cerminan  diri sendiri"  tungkas Endry menghibur

Ternyata perempuan itu beda tujuan dengan ku. Usai membilas ragaku dengan wudhu aku tenggelam dalam ruku dan sujud serta tak menyia-nyiakan kesempatan mustajab untukk berdo'an aku selalu menedahkan tangan agar Allah segera menghadirkan bidadari ku agar hilang setatus jomlo yang ku pertahankkan sejak dulu karena kefanatikan ku dalam memegang prinsif. Dan membungkam omelan para teman-teman mama yang sering menanyakkan kapan dapat mantu.

Kebiasaan ku ketikka melihat wanita baru-baru ini sering bertanya dalam hati 'apakah dia kelak yang jadi istri ku?' kepada setiap wanita yang membuat ku melihat kelembutan pada wajah mereka. Dan aku memandang hanya berani mencuri-curi tak berani menatap langsung.

                                                     ***
Aku segera menyalami orang tua berjugah putih itu, namanya Buya Ahmad guru ngaji ku serjak dulu. Entah mengapa aku kali ini malu bertanya akan peristiwa siang itu dan pertanyaan itu memang akan malu-maluin kalau sempat aku tanyakan.

Siang, sujan mulan reda. Usai pulang dari istirahat kantor aku berniat kembali kekantor dan di perjalanan aku melihat perempuan berpayung hitam tadi di tabrak sebuah mobil hingga meninggal. Aku yakin kalau ia memang perempuan yang berpayung yang ku temui tadi.

Sebuah pertanyaan "apakah kematian perempuan itu karena sebuah pertanyaan ku yang selalu berpikir apakah dia yang kelak jadi kekasih ku?" sebab sudah masuk yang ketiga kali kala aku berpikir demikian selalu saja ada kejadian serupa. Astagfirullahhal azim  bukankah itu takdir, atau memang kisialan ku.

Seperti kejadian itu sebuah jawaban langsung dari Allah atas pertanyaan ku, kalau perempuan-perempuan yang naas itu bukan jodoh ku.

Dan malam ini aku belum menemukan jawaban.

                                                   ***
Setelah tamat SD aku di sekolahkan di sebuah pesanteren di kota serambi Mekah Aceh hingga tamat dua jenjang SMP dan SMA di sana. Dalam masa itulah enam tahun aku berpisah dengan Hedi dan Endry lama nian kami sudah tak mandi hujan, setelah enam tahun itupula aku pulang ke tanah kelahiran ku Padang.

Lulus kuliah aku langsung bekerja di sebuah perusahaan, yah jalan hidupku kala itu terasa lurus dan datar hingga ahirnya konflik ini yang menghadang ku. Menikah sementara jodoh belum juga datang. Di tengah kesibukan kantor hujan turun, ku lihat dari jendela kaca. Sambil memperhatikan air yang gugur aku teringat bahwa sejatinya ketika nyatri di Aceh  aku sempat bertemu seorang perempuan muslimah, dia tak bercadar, ketika itu hujan turun dan kami tergepung hujan di sebuah kedai tak sengaja itulah kali pertama aku bertemu sosok yang benar-benar membuat detak jantungku sebunyi guruh di dalam rahim mendung.

Sempat beberapa detik seolah berhenti ketika mata ku dan mata biru gadis Aceh itu bertabrakan, ingin rasanya lebih lama sebelum ahirnya kedatangan yang punya kedai seorang ibu yang memberikan payung pelangi kepadanya.

"terimakasi bu, insyaAllah secepatnya saya pulangkan. Assalamualaikum" ucapnya lembut.

"waalaikumsalamwarahmatullah.."

"kamu?" tanya ibu itu."kalau masih ada payung boleh saya pinjam juga buk?"

"hem, maaf  sudah tidak ada"

"oh yalah bu, tak apa-apa. terimakasih buk" akupun segera menerobos hujan langit Aceh, niat hati hendak menyusul perempuan bermata biru berpayung pelangi itu. Tapi sayang sampai detik ini kami tek pernah bertemu lagi. Alhasil basah semua pakaian dan buku-buku pelajaran ku.

                                    ***
Malam berikutnya, Kembali aku pergi kerumah Buya dan aku siap menelan pahit-pahit rasa malu yang akan ku dapat sebab malam ini ketika langit ranah Minang ini di sepuh warna terang bulan yang sedang purnama, aku akan bertanya perkara ganjil itu.

Aku kembali mendengarkan risalah-risalah bijak beliau dengan khidmad dan menunggu jeda untuk b bertanya perkara itu.

Ada jeda. Mentalku ciut. "oh iya nak Ilham, Buya ado sesuatu untuak wa'ang"

"apo sesuatunyo Buya? "

Pengajian hening. " Sabar, semoga bermanfaat ". akupun bersabar

Lagi. Ada jeda. " Buya saya mau bertanya" sambil mengangkat tangan, jantung berdebar dan tubuh terasa lemas.

"silahkan". Saudara-saudara semajelispun terdiam khidmad

"begini Buya, saya sering terusik oleh sesuatu yang membuat saya takut. Pernah tiga kali kejadian ini terjadi"  dan saya lalu menceritakan panjang lebar peristiwa itu.

Sempat ada yang mau tertawa, kemudian terdiam oleh jawaban Buya "soal kematian, kullu nafsin dzaiqotul maut  maka jangan kita sangkut pautkan dengan sebuah kekafiran sejatinya setan  adalah musuh yang nyata.  Dan soal pertanyaan mu itu lucu juga nak Ilham"

Mulai ku rasa pahit jawaban ini. Sebagian ada yang diam-diam tertawa.

"sudah-sudah jangan menertawakan kawan" cegah Buya

Sejurus kemudian ketika jarum jam tepat di angka sembilan hujan turun tak di duga pada itu pula sebuah mobil berwarna putih berhenti di depan Masjid kemudian beberapa orang keluar menggunakan payung. Perhatian kami tertuju pada pemandangan itu, terahir seorang gadis semampai keluar menggunakan payung hitam.

"nak Ilham semoga kamu tak kecewa dengan hadiah ku"  tutur Buya, jantungku bersuara bak guruh dilangit ranah Minang "dan jangan selalu menanyakan taqdir, taqdir dijalani dan di hadapi jika telah begini taqdir ada depan mata maka terimalah" tutur Buya yang membuat jantung ku di landa prahara, dan tanda tanya.

Rombongan memasuki masjid. Aku yang berdiri di samping Buya tertegun ketika melihat perempuan bermata biru. Dan aku yakin kalau ia perempuan bermata biru dari Aceh waktu itu "semoga ini lah taqdir mu nak"


                                                                                                                   Selesai. Rengat 19 april 2017






Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH RESENSI SEDERHANA NOVEL MALIK DAN ELSA (1)

RESENSI buku ARAH LANGKAH FIERSA BESARI

RESENSI BUKU TAPAK JEJAK Fiersa Besari