Cerpen sastra pemuda Kemuning

                   Dongeng seorang Musafir
                        by: Obie Batama Putra

Sekarang setelah searching ke google tentang nama itu, aku semakin yakin dengan kejadian malam jum'at kemarin, bukankah nama itu adalah nama asli beliau.

"apakah itu memang benar-benar beliau?"
                                             
                                                ***
Malam itu seperti biasa, sebelum gema adzan isya berkumandang dilangit malam yang semakin menua yang dinding langitnya di taburi dengan rasi-rasi indah bintang gemintang, kerlap-kerlip yang tampak elegan ku tilik dari jalan setepak menuju surau Al-Muttaqin desa kami, kala ku terpana sembari tangkas menghentikan sepeda motor ku, dan langsung menikmati keindahan malam itu sejenak.

Tak seperti Zaman bapak ku dulu kalau mau menuntut ilmu (mengaji) seperti kami saat ini yang di terangi oleh cahaya lampu pijar  dan aneka nama lampu masa kini yang turut memberikan penerang dalam kegelapan, bapak ku dan seanggkatannya dulu tiap kali mau mengaji harus membawa pelita, obor dan sebagainya untuk menerangi pandang agar ayat-ayat yang di pelajari dapat terlihat jelas, tutur bapak pada sebuah percakapan.

Tak lama aku pun sampai di surau Al-Muttaqin, sungguh betapa terkejutnya aku saat itu, yang ku lihat tak seperti malam-malam biasanya, ya anak-anak yang mengaji berkurang, bisa dikatakan tak ada sebab yang datang hanya satu orang, berdua di tambah dengan ku yang baru saja sampai di muka pintu mushalla.

Aku dan bang Rahman di telan gelap yang semakin larut, usai adzan isya ku kumandangkan jamaah yang hadir tetap konsisten, hanya kami berdua. aneh, Walau demikian kecewa dengan keadaan malam jum'at kali ini sedikit banyaknya kalam-kalam Ilahi dalam kitab suci Al-qur'an itu tetap kami tadaburkan bersama. ternyata ustadz Zul tak hadir malam ini kata bang Rahman yang tadi di beritahu oleh anaknya ketika hendak pergi mengaji.

sudah masuk pukul sembilan malam suara dari kejauhan yang tadi ku kira hanya samar-samar sekarang semakin jelas dan semakin nyaring menguasai malam di luar Mushalla pun mulai ramai suara remaja yang bersuka ria di bawah pohon rambutan di depan Mushalla.

"oh iyo baru ingat awak, kan di ilir ado acara pesta"[1] terka bang Rahman memberi tahu ku yang keherananan.

"suailah kalu bak itu bang, berarti kawan kito di sano segelo e"[2]  sejenak kami larut dalam percakapan singkat itu. Jarum jam semakin dekat menunjuk kearah angka sepuluh.

Rasa kantuk mulai datang, dan malam semakin dingin membelai, hingar bingar di luar belum berkurang.
Mushaf Al-qur'an yang tadi kami baca mulai kami kemaskan ketempatnya pertanda kami mulai hendak pulang, dan ketika hendak pulang itulah seorang musafir datang, beliau memakai jubah berwarna hijau yang merupakan warna kesukaan ku, beliau memiliki muka yang cerah di dahinya terbekas dua hitam yang sering ada di dahi-dahi para ulama, kiyai dan orang-orang alim lainya.

"sudah mau pulang?" tanyanya

"iya kek" jawab ku singkat kepada orang tua yang janggut dan rambutnya di dominasi oleh warna putih, tetapi yang aneh gurat wajah tua itu tak tergambar di wajahnya yang berseri 'mungkin karena senantiasa terbilas air wudhu' cercaku dalam hati.

" cepat nian balek e, legi jo lah balek, siko dulu sebenta, nak denga dongen dari datok dak?"[3]

Aku dan bang Rahman terkejut, dengan bahasa melayu yang sesuai dengan logat melayu kampung kami  itu begitu pasih beliau ucapkan, lagi lagi aku menerka 'mungkin beliau dulunya adalah orang kampung kami' batin ku

kamipun bersalaman dengan musafir yang asing datang di tengah malam jum'at ini. Selepas bersalaman aku dan bang rahman segera cari posisi tempat duduk, percakapan kami malam itu di mulai dengan perkenalan

"Abi" tunjuk mengarah kepada ku "Rahman" tunjuknya mengarah ke bang Rahman, mungkin caranya mengingat nama kami yang baru kami sebutkan. "iya tok" jawab ku, yang kini telah mengganti sebutan kekek berganti dengan sebutan datok.

"nama datok Balya, oh ya tadi kan dotok mau cerita dongeng "

Dan tanpa di beri aba-aba datok yang bernama Balya ini mencelocos tanpa sedikitpun kami bisa bertanya lebih detail mengenai dirinya, langsung saja bercerita panjang lebar tentang kehidupan dan pentingnya ada sebuah agama dalam hidup, tetapi apa pentingnya sebuah agama kalau tak di jadikan sarana penyembahan keimanan kepada zat yang maha tunggal tanpa sekuku yaitu Allah semata, banyak orang yang punya agama namun tak banyak orang yang faham tentang beragama hingga agama hanya jadi agama-agamaan saja, sebait kalimat yang tertulis di katepe mereka.

kami terdiam, menjadi pendengar yang baik dan seketika kantukpun mulai enyah

arah jarum jam mendekati angka sebelas, tanpa terasa

kemudian beliau berdongeng tentang  wali-wali Allah secara terperinci mulai dari nabi Adam sampai baginda nabiAllah Muhammad.

kami masih diam, dan sekali-kali bertanya

terahir beliau bercerita tentang seorang nabi yang memiliki umur yang panjang karena meminum air ainul hayat yaitu nabi Khidir AS seorang waliAllah yang terkenal pandai, bahkan katanya saeorang nabi Mussa AS saja masih berguru kepada beliau. Seorang waliAllah yang menjaga Lautan. kemudian banyak lagi yang ia ceritakan bahkan sampai kepada ayat yang di jual seharga seribu dinar di tengah lautan.

Malam semakin larut, jarum jam pas perada di angka dua belas  tengah malam.

Ahir dari pengisahan panjang nama datok yang bernama Balya ini  di tutup dengan doa bersama. Aku dan bang Rahman segara beriringan keluar dengan sang datok Musafir asing itu keluar Mushalla  dan sebelum pulang kerumah masing-masing kami bersalaman yang di dahului oleh bang Rahman dan kemudian aku...

seketika aku teringat ucapan bapak ku " kalau bersalaman dengan orang asing ataupun siapa saja di namapun dan kapanpun selalulah rasakan ada tidakkah tulang jempol orang tersebut, kalau tidak ada barang kali orang itu adalah nabi Khidir yang menyamar jadi orang lain, katanya hanya beliaulah yang memiliki ciri khusus seperti itu"

Aku bersalaman dan mempraktekkannya kepada orang tua bernama Balya ini.

Sontak aku terkejut. Kutatap muka orang tua itu dan segera mencium tangannya, tanpa mengucapkan salam aku mengejar bang Rahman yang melangkah meninggalkan ku. niat hati hendak memberi tahu perkara ganjil itu kepada bang Rahman yang pendiam ini "bang perhatikan orang tua itu, ternyata ia.." kami sama-sama menoleh kebelakang dan beliau sudah tidak ada. aku semakin terkejut, mungkinkah beliau....Balya bin Malkan Qoli' bin Syalikh bin 'Abir bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nun, nabi Kidir As.

sebab ku rasakan tak ada tulang pada tempol tangannya.

catatan :

[1]. oh iya,baru saya ingat, di hilir kan ada acara pesta
          [2]. pantaslah seperti itu bang, mungkin kawan kita disana semuanya
     
          [3]. Cepat sekali pulangnya, nanti sajalah pulangnya, kesini dulu sebentar, mau dengar dongeng datuk
                 tidak?     
   
       




Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH RESENSI SEDERHANA NOVEL MALIK DAN ELSA (1)

RESENSI buku ARAH LANGKAH FIERSA BESARI

RESENSI BUKU TAPAK JEJAK Fiersa Besari