Cerpen Narasi Patah Hati


Sebuah cerpen narasi curahan hati. Cerita pendek untuk kisah yang panjang.


Ruang Kosong (2013-2014)

            Setelah kau pergi ruang yang semula kau huni, kini  lengang. Kosong. Di isi oleh sepi, yang lebih menyayat tatkala sunyi, sunyi yang menyulut rindu yang tidak ada lagi yang memiliki. Rindu yang hanya sebatas rindu tanpa hubungan itu lagi.
            Kita memilih sudah, setelah beberapa kali patah dan kalah pada sebuah keadaan remeh dan receh, tetapi waktu tetap saja mempersilahkan kita kala itu untuk mengurai rasa hingga cukup lama. Tentu saja ada masalah yang membuat kita tidak betah dan terkadang terniat pula untuk pindah. Tetapi setelah beberapa kali patah, kita lanjut lagi dan pada yang kesekiankalinya kitapun benar-benar memilih untuk sudah.
            Kita bertemu terlalu cepat, bertemu tatkala hati belum sepatutnya memilih jalan itu, jiwa kita masih labil, sebab transisi usia baru saja menginjak zona dimana kita seharusnya terlebih dahulu menata rasa dan memikirkan panjang resikonya sebelum ahirnya kita memilih untuk menjalani sebuah hubungan.
            Hubungan itu berjalan sembunyi-sembunyi, kita endapkan dari permukaan sebab terkadang kita sama-sama berpikir masa itu rasanya terlalu cepat kita jalani, tentu kita dirundung rasa malu, hingga pada kesekian episode aroma-aroma orang kasmaran itu tidak dapat lagi ditutupi, walaupun demikian semuanya berjalan sewajarnya tidak berlebihan apalagi di tambah keadaanku yang juga kurang berani memantapkan untuk menunjukan perhatian dipermukaan tatkala ramai.  Dan hal itu yang aku merasa amat bersalah hingga mengabaikan dan tak acuh kepadanyamu. Tetapi kamu hebat, tetap saja bertahan.
            Hingga pada satu keadaan kita dipertemukan setiap hari, jarak kita sudah semakin dekat, kita sekolah di tempat yang sama dan dalam likup dua organisasi yang sama pula. Disinilah kita baru menemukan konflik yang sebenarnya, datang silih berganti. Rumit untuk ku urai dan kurangkai dari bait sederhana ini.
            Kau, demikian aku menulis nama Lina dari karanganku ini, dia gadis manis seperti pada umumnya namun dua buah lesung pipi, karunia tuhan yang diberikan  kepadanya menambah keelokan senyumnya.  Namun sayang, setelah aku bisa melihatnya setiap hari walaupun dari kejauhan dan dalam sikap dinginku kamipun memilih berpisah dan dia menolak untuk kembali seperti perihal-perihal dulu yang selalu bisa ku bujuk untuk kembali. Ini sudah kesekian kalinya, mungkin kau sudah merasa bosan dengan sikap plin plan yang aku miliki.
            Apalah tidaknya, aku yang salah begitu cepat mengunyah dan menelan mentah mentah ucapan fitnah dari seorang kawan, di suatu sore menjelang magrib. Ucapan dan pernyataanya yang menyulut api di hati dan mengobarkan emosi yang mendominasi, dia katakan padaku bahwa kau tidak lagi menganggap keberadaanku sebagi penghuni hatimu.
            Bakda magrib, aku yang masih kalut secepat cepatnya menyatakan sesuatukan yang membuat kita berpisah untuk yang kesekiankalinya dan hingga jadi yang terakhirkalinya walaupun belakangan aku tahu bahwa pernyataan kawan itu adalah sebuah bualan belaka, haduh sungguh begitu bodohnya aku. Hingga aku terjatuh teramat jauh dalam ke gundah gulanaan yang ku gali sendiri. Tetapi demi rasa yang masih ada terpatri dalam hati aku mencoba mengajakmu untuk kembali, tetapi kamu kali itu memilih untuk menjalani jalan lain, memilih untuk sendiri.
            Adalah aku yang terus menyemai harap di tiap kesunyian gelap, memintamu untuk bisa kembali kudekap, tapi kita sudah tidak searah, masa dimana aku enggan memulai pembicaraan dan engkaupun demikian, hal itu mungkin karena kamu tidak mengharapkan ku kembali untuk sama-sama menuju apa yang pernah jadi harapan.
            Diantara usahaku meniadakanmu dalam ruang yang masih mengharapkanmu, dalam otakku yang masih saja memikirkanmu. Hari demi hari ku saksikan kepedihan. Engkau begitu cepatnya menempatkan orang lain pada ruang istimewamu dan seakan-akan benar-benar meniadakan harapan untuk aku dapat kembali, dan yang tidak mengenakan selain itu kau menetapkan dia kawanku sendiri. Aku mencoba kuat pada sesuatu yang nyatanya membuatku lemah seperti sekarat, ku berantas dan kucoba terabas rasa pedih itu dengan seolah-olah aku ihklas untukmu benar-benar lepas.
            Selalu saja ada kisah yang membuat semuanya tambah rumit. Ketika kau memilih untuk memilih kawan dekatku maka demi semesta yang terkadang aneh tetapi nyata, akupun memilih kawan terdekatmu untuk menggantikan posisimu di ruang sunyi yang kau tinggalkan itu.
            Kita dihadapkan pada zona dimana saling membakar emosi dan hubungan perteman sudah pada zona yang tak aman, hingga pada konflik yang merumit itu, sebuah teror malam hari mendarat di phonsel temanku. Sebuah pesan terkirim dari nomorku bernada kasar dan tak terima keambilalihan perasaan Lina kepadanya. Yang belakangan aku tahu ternyata sebuah pesan teror itu dikirimkan oleh temanku yang lain yang juga menginginkan Lina menjadi miliknya.  Alhasil kami bersitegang urat.  Kami yang masih dalam satu organisasi itu didinginkan oleh keadaan yang membuat Lina harus memilih aku atau kawanku. Dari sini aku tahu sedikit banyaknya kau masih memiliki harapan terbukti denganmu yang masih memberi waktu cukup lama dalam sesi memilih itu. Tetapi engkau memilih seseorang yang telah memberikan kenyaman sekarang bukan seseorang yang memberikan kenyamanan yang sudah jauh di belakang.  Maka hari itu aku benar-benar mencoba ikhlas menyaksikan kau lepas.
            Pada jalan yang telah kita tapaki masing-masih kedaan masih saja membuat kita semkin terlihat  bersaing. Adalah senyummu dan dua buah lesung pipi itu yang membuat keadanku semakin jauh terpelanting, ketika senyum itu kau berikan dengan ikhlas padanya kawanku, dan bukan aku.
            Sunyi kembali mencekam tatkala malam. Selepas temanmu yang kupilih mengisi ruang kosong itu nyatanya hanya mempermainkan ku dan malah lebih memporak-porandakan ruang itu dengan kesedihan yang berlarut cukup lama. Tak berselang lama aku mulai menyemai harap pada sunyi gelap ketika mengengar kabarmu yang juga telah tidak lagi dengan temanku.
            Tidak sampai disitu saja ketika engkau lepas dari kawanku engkau memilih temanku yang lain dalam organisasi yang lain lagi. Dan  aku harus menyaksikan semua itu lagi, yang semulanya cobaku sembuhkan sendiri dengan membawanya lari.
            Maka demi harapan-harapan besar di suatu hari nanti, tentang janji Ilahi yang tak terpungkiri, bertahun tahun aku berlari membawa pedih perih menata kembali huru haranya ruang kosong itu.
            Terkadang kita perlu memperpanjang jeda, menata kembali rasa, mendewasakan jiwa agar kelak keadaan serupa tak akan terjadi lagi. Masalah baru tentu akan ada namun tidak sama halnya dengan kisah yang sudah-sudah. Adapun sama mungkin sudah agak berbeda karena dari kisah sebelumnya sudah ada pengajaran. Masa lalu bukan bukan untuk dilupakan melainkan tetap diingat dengan cara yang tak menyakitkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH RESENSI SEDERHANA NOVEL MALIK DAN ELSA (1)

RESENSI buku ARAH LANGKAH FIERSA BESARI

RESENSI BUKU TAPAK JEJAK Fiersa Besari